Banjir adalah peristiwa
yang terjadi ketika aliran air yang berlebihan merendam daratan. Pengarahan banjir Uni Eropa mengartikan banjir sebagai perendaman
sementara oleh air pada daratan yang biasanya tidak terendam air. Dalam
arti "air mengalir", kata ini juga dapat berarti masuknya pasang laut. Banjir diakibatkan oleh volume air di suatu
badan air seperti sungai ataudanau yang
meluap atau menjebol bendungan sehingga air keluar dari batasan alaminya
Tercatat
sedikitnya 52 titik banjir tersebar seantero Jakarta. Beberapa
kawasan terparah yang sempat tergenang air berada di kawasan Kelapa Gading, Mangga Dua, danGrogol. Di Grogol, titik terparah banjir berada di Jalan S. Parman
depan Universitas Trisakti dan Universitas Tarumanagara. Ketinggian air di kawasan tersebut sempat
mencapai 60 cm. Di Kelapa Gading,
ketinggian banjir hingga mencapai 80 cm menghambat akses masuk ke beberapa
tempat di kawasan tersebut. Di
Mangga Dua, banjir setinggi 40 cm memenuhi Jalan Mangga Dua Raya, Jakarta Utara. Sejumlah pusat perbelanjaan yang berada di
sepanjang jalan tersebut tutup. Genangan air juga membanjiri kawasanJalan Medan Merdeka yang melingkupi kompleks Istana Negara dan Balai Kota DKI Jakarta.
Dilalui 13 sungai besar, wilayah DKI
yang rendah memang rentan dengan derasnya luapan air dari ke-13 sungai yang hulunya
berada di Bogor dan Depok yang lebih tinggi. Selain air kiriman dari hulu,
banjir juga diperparah dengan perilaku sembrono membuang sampah sembarangan,
pemukiman di bantaran kali, dan rob atau pasang air laut. Berbagai upaya telah,
sedang, dan akan diupayakan pemda DKI untuk meminimalisir banjir, namun
hasilnya tetap minim. Tiga faktor berikut adalah penyebab utama banjir yang
selalu menerjang Jakarta.
Pertama adalah curah hujan yang
tinggi. Sesuai prakiraan cuaca yang disampaikan instansi BMKG, Januari dan
Februari adalah puncak musim hujan. Ini berarti curah hujan dalam dua bulan ini
berada dalam intensitas paling tinggi. Volume air hujan yang tumpah ke daratan
pada akhirnya tidak tertampung di sungai, selokan, dan situ-situ penampung air
di wilayah Jabodetabek. Lahan terbuka hijau yang semakin sempit juga
menyebabkan curah hujan tidak dapat meresap ke tanah. Logis bila akhirnya
volume air begitu deras mengalir ke sungai-sungai yang membelah wilayah DKI
yang kemudian meluap dan menggenangi pemukiman dan jalan raya.
Faktor kedua disebabkan oleh
ketidakpedulian manusia. Membangun pemukiman dan rumah di bantaran kali,
membuang sampah sembarangan, dan alpa membuat ruang terbuka hijau adalah bentuk
ketidakpedulian kita yang akhirnya mendatangkan banjir dan bencana lain. Banjir
pada dasarnya adalah bencana yang tanpa sengaja kita ciptakan sendiri karena
ketidakpedulian kita terhadap ekosistem dan lingkungan. Pemukiman di bantaran
kali tentu mempersempit lebar sungai dan membuat pendangkalan dan sedimentasi
pada sungai semakin cepat. Akibatnya, daya tampung sungai menjadi sangat
terbatas dan air yang tidak kenal kompromi mengalir dan menggenangi pemukiman.
Sampah juga menjadi penyebab utama banjir. Berton-ton sampah yang menyumbat
saluran, drainase, dan pintu-pintu air membuat aliran air ke laut tersendat.
Penyumbatan ini tentu mengakibatkan air meluap. Kurangnya ruang terbuka hijau
di Jakarta membuat air tidak dapat meresap ke tanah. Upaya yang baru dimulai
Pemda DKI dengan membebaskan hunian liar di berbagai waduk atau situ di Jakarta
dan mengembalikan fungsi mereka sebagaimana mestinya tidak mampu mengimbangi
banyaknya air yang masuk ke waduk dan situ tersebut. Ketidakpedulian ini
menjadikan bencana banjir semakin parah menerjang Jakarta.
Faktor terakhir adalah kebijakan
pembangunan yang kurang memperhatikan daya dukung lingkungan. Motivasi ekonomi
selalu menjadi pendorong pembangunan. Permukiman di luar wilayah Jakarta
(Bodetabek) dilakukan secara masif oleh ribuan pengembang. Akibatnya area
terbuka semakin sempit dan membuat hujan yang turun di wilayah ini semakin
cepat mengalir ke laut yang celakanya, sebelum sampai tujuannya, menyambangi
wilayah Jakarta terlebih dahulu. Hal ini diperparah dengan kebijakan
pembangunan mal-mal yang sepertinya tak dapat dibendung di wilayah Jakarta.
Pembangunan yang mengesampingkan daya dukung lingkungan semacam ini
mengakibatkan bencana banjir semakin sering dirasakan warga Jakarta. Sejak
beberapa tahun terakhir ini, setidaknya 25% wilayah Jakarta selalu digenangi
banjir pada periode Januari-Februari. Ini bukti bahwa pembangunan yang didorong
oleh motif ekonomi semata sering menimbulkan bencana. Karena keserakahan
manusia ini, kita harus rela bila bencana, khususnya banjir di musim hujan,
akan menjadi urusan yang tak pernah tuntas penyelesaiannya.
Sebenarnya, hujan adalah berkah alam
yang menjamin kelangsungan hidup bagi semua makluk di muka bumi. Sayangnya,
hujan kini telah berganti rupa menjadi kutukan akibat keserakahan manusia.
Hujan yang menjadi sumber kehidupan telah bertransformasi menjadi air yang
menyengsarakan. Hujan yang seharusnya menumbuhkan benih tanaman malah menjadi
biang kematian. Air yang hakikatnya menghidupi bersalin dalam rupa bah yang
menenggelamkan. Barangkali inilah protes yang dilakukan alam manakala manusia
tak lagi tahu berterima kasih dan menghargai alam sekitar.
Referensi
0 comments:
Post a Comment